DAMPAK atas krisis keuangan global sepertinya baru akan dirasakan oleh masyarakat Cirebon pada awal tahun hingga pertengahan tahun 2009. Demikian prediksi dari sejumlah pelaku ekonomi di Kota Cirebon.
Prediksi itu bukan tanpa alasan. Berdasarkan keterangan dari Pemimpin Bank Indonesia Cirebon Dadi Aryadi, saat krisis ekonomi terjadi tahun 1998 lalu, masyarakat Cirebon tenang-tenang saja, namun baru tahun berikutnya dampak krisis tersebut baru dirasakan di Cirebon.
"Lokasinya yang jauh dari pusat kota serta kotanya yang kecil dan disokong oleh perdagangan lokal membuat dampak krisis tidak serta merta terasa," katanya.
Krisis keuangan global yang terjadi menjelang akhir tahun 2008 pun, ujar Dadi, kemungkinan baru terasa dampaknya pada tahun 2009. Namun dampak tersebut tidak akan menggurita, hanya pelaku bisnis besar yang bergantung pada ekspor yang akan terkena dampaknya.
Di wilayah Cirebon banyak terdapat perusahaan besar skala ekspor. Jatiwangi sudah dikenal dengan industri rotannya, Plered sudah mendunia dengan batik trusminya, dan sejumlah perusahaan pengolahan ikan besar banyak berdiri disekitar pelabuhan. Devisa jutaan dolar AS disumbangkan dari ekspor Cirebon setiap tahunnya. Perusahaan-perusahaan besar ini rupanya mulai merasakan dampak krisis.
Menurut Kepala Seksi Perikanan pada Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Cirebon Dedi Supriadi, satu perusahaan pengalengan rajungan-sejenis kepiting- terpaksa menutup usaha ekspornya setelah Amerika tidak lagi melanjutkan kesepakatan bisnis.
"Perusahaan ekspor rajungan kaleng sejak November 2008 terpaksa berhenti beroperasi karena pasar utamanya hanya ke Amerika. Namun masih ada perusahaan pengolahan ikan lainnya yang masih tetap bertahan. Tujuan ekspornya ke China, Jepang atau Taiwan," katanya.
Sektor usaha yang menggantungkan diri pada Amerika Serikat sebagai pasar utamanya memang sedang hancur, termasuk di Cirebon. Selain industri rajungan kaleng, industri rotan pun demikian. Sejak sektor properti Amerika tumbang, otomatis permintaan mebel kenegara adikuasa ini turun drastis.
Nah, pelaku industri mebel dan rotan dari Cirebon pun kini sudah mulai melirik pasar baru agar usahanya tetap hidup. Selain negara Eropa khususnya Jerman, negara di kawasan Timur Tengah dan Asia pun sudah mulai dibidik sebagai perluasan pasar tahun depan. Pokoknya, bukan Amerika. Namun ada yang menarik, ternyata hanya perusahaan skala besar atau skala ekspor yang merasakan dampak krisis tersebut. Buktinya, pengesub atau pabrikan kecil outsourching penggarap pesanan dari pabrik-pabrik rotan besar masih tetap menerima order.
Sutandi, seorang pengesub mebel berbahan baku rotan yang ada di sentra rotan Jatiwangi Kabupaten Cirebon mengatakan order pembuatan set furniture berupa meja dan kursi sudah kembali diterimanya dari dua pabrik rotan besar. Dia juga menyatakan bahan baku rotan mentah cukup banyak karena pasokan dari Surabaya, Kalimantan dan Sumatra cukup lancar.
"Pekerjaan sudah mulai ada sejak Desember ini dan sampai April 2009 sudah dapat order dari pabrik," katanya.
Nah , UMKM lainnya yang masih tetap eksis meski disaat krisis adalah batik Trusmi. Musim liburan natal dan tahun baru kali ini permintaan kain batik melonjak hingga 30%. Pembelinya hanya kelas lokal bukan ekspor. Dan kalau pun ada yang ekspor-meski hanya sebagian kecil- negara tujuannya hanya di Asia seperti Jepang. Ternyata faktor eksternal krisis keuangan global tidak terlalu mempengaruhi UMKM.
Fokus potensi lokal Cirebon dan daerah disekitarnya seperti Kuningan, Majalengka, dan Indramayu banyak memiliki potensi lokal yang patut dikembangkan. Ketua Forum Pengembangan Ekonomi Lokal (FPEL) Sutikno mengatakan ekspor bukan menjadi ukuran atas keberhasilan sebuah produk atau perusahaan, namun kemampuan penetrasi pasar lokal yang harus diutamakan agar sebuah usaha tetap bisa eksis.
Apa yang dikatakan Sutikno tersebut berdasarkan atas kemampuan UMKM di Cirebon yang bebas krisis, berbeda dengan perusahaan skala ekspor yang ada di Cirebon. "Saatnya melirik potensi lokal."
Untuk itu sejumlah potensi lokal Cirebon kini tengah dibidik untuk dikembangkan seperti kerajinan rotan, manisan buah, topeng hingga kuliner khas Cirebon. Potensi tersebut kini semakin tak dilirik bahkan kurang mendapatkan perhatian serius dari pelaku usaha dan pemerintah setempat.
Meski sebenarnya bisa menjadi icon produk kebanggan kota ini. Keingianan FPEL tersebut sepertinya akan disambut baik karena pada tahun 2009 ini karena perbankan akan lebih fokus membidik sektor eknomi lokal bagi penyaluran kreditnya. "Berdasakan himbauan Bank Indonesia, tahun 2009 perbankan harus lebih melirik UMKM dari pada perusahaan besar. Alasannya, UMKM tahan krisis," ujar Pemimpin Bank Jabar Banten Cabang Cirebon Her Purwanto.
Pengembangan potensi ekonomi lokal ini diperkirakan akan berjalan cepat karena usaha skala kecil tersebut lebih fleksibel dan hasil dari penelitian Bank Indonesia Cirebon banyak diantaranya yang masuk kategori bankable.
Pelaku UMKM bisa lebih cepat mengambil keputusan terkait perkembangan bisnisnya karena tidak bergantung pada keputusan perusahaan lebih besar yang menaunginya. Perusahaan besar di Cirebon baik swasta atau nasional terasa lambat berkembang karena ketatnya birokrasi dan mandulnya pelaksanaan otonomi daerah.
Sebagai contoh perusahaan otomotif atau telekomunikasi tidak bisa bergerak cepat dan mematok target sendiri karena selalu ditentukan oleh perusahaan induk di Jakarta atau Bandung. Contoh lainnya adalah Pelabuhan Cirebon yang seakan hidup segan mati tak mau. Hanya melulu mengurusi batu bara saja selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini.
Pemkot Cirebon tidak mampu berbuat banyak untuk mengembangkan pelabuhan karena birokrasi yang sulit. Sementara pihak pelabuhan sendiri baru bisa bergerak setelah ada mandat dari PT Pelindo di Jakarta. Serba sulit, sehingga Pemkot Cirebon memilih untuk meninggalkan rencana ikut andil dalam mengurus pelabuhan. Kalau pun ingin mengembangkan industri lokal dengan skala besar, mungkin bidang propertilah yang bisa digarap maksimal.
Di Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon masih banyak lahan kosong yang bisa dikembangkan menjadi perumahan. Demikian pula di Kuningan, Majalengka dan Indramayu. Untuk diketahui, pada tahun 2009 sejumlah perusahaan properti besar masih akan tetap membangun.
Seperti Cirebon Super Blok (CSB), awal tahun 2009 mulai memasarkan ruko tipe terbarunya bahkan menargetkan pembangunan mal dapat selesai akhir tahun 2010. Dan PT Apitasemesta Griya pada pertengahan tahun 2009 siap mengoperasikan tower Hotel Apita yang akan menjadi hunian tertinggi di Cirebon dengan ketinggian mencapai 15 lantai.
Ketua REI Cirebon Surya Wijaya sendiri memperkirakan bisnis properti tetap akan tumbuh pada tahun 2009 mendatang.
"Awal tahun masih terseok namun pertengahan tahun akan kembali booming seperti diawal tahun 2008. Jika tidak ada faktor eksternal penggangu maka target pembangunan 1.500 unit rumah di wilayah Cirebon bisa terealisasi," katanya.
Lalu dimana andil pemerintah? Developer hanya meminta pihak pemerintah setempat menyiapkan sarana, prasarana dan kemudahan perijinan bagi investasi.
Pemkot Cirebon harus mampu menyelesaikan persoalan keterbatasan pasokan air bersih. Kisruh pembagian air antara Kota Cirebon dan Kabupaten Kuningan harus diakhiri. Sebab dengan perumahan baru atau mal dan hotel perlu suplai air bersih.
Demikian pula dengan kesiapan aliran listriknya. Jangan sampai setelah semuanya berdiri tetapi gagal beroperasi hanya karena tidak ada pasokan air PDAM atau aliran listrik. (BC-11) 24 Januari 2009
Sumber :
Raharjo
http://www.beritacerbon.com/berita/2009-01/saatnya-melirik-potensi-lokal-cirebon
5 Juni 2009
Sumber Gambar:
http://www.republika.co.id/images/news/2008/10/20081009195619.jpg