Jumat, 05 Juni 2009

BELAJAR IPTEK DI KERATON KASEPUHAN CIREOBON


Cirebon adalah kota pelabuhan di pesisir utara Pulau Jawa yang pernah menjadi pelabuhan penting pada zamannya. Tidak heran kalau jejak perdagangan dan percampuran budaya banyak mempengaruhi tampilan desain dari Cirebon. Banyak hal yang bisa diperoleh dari perjalanan wisata ke Cirebon, diantaranya adalah kunjungan ke beberapa keraton yang ada disana, salah satunya adalah Keraton Kasepuhan.

Alkisah, Cirebon berasal dari sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa dan diberi nama Caruban, arti kata yang berasal dari bahasa Sunda ini adalah campuran. Hal ini terutama karena penduduk pedukuhan yang berkembang menjadi desa dan akhirnya menjadi sebuah kota itu adalah percampuran antara pendatang dari berbagai bangsa, agama, bahasa, dan mata pencaharian.

Pada awalnya mata pencaharian utama masyarakat daerah itu adalah sebagai nelayan, terutama untuk menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai. Untuk membuat terasi mereka menggunakan udang rebon, dan dari situ muncul istilah Cai Rebon (bahasa Sunda) atau Air Rebon, air bekas pembuatan terasi. Bisa jadi dari sinilah asal muasal nama kota yang berada di tengah-tengah antara Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Saya masih ingat komik pertama yang mengenalkan saya kepada kota Cirebon adalah “Kisah Sunan Gunung Jati dan Putri Cina”. Saya lupa penerbitnya, seharusnya komik ini masih ada di antara harta karun saya yang berupa buku-buku berdebu di atticrumah. Tidak heran kalau kisah putri dari China ini merupakan salah satu kisah yang menjadi bagian sejarah dari Cirebon, karena piring-piring porselin dari Tiongkok menghiasi dinding keraton-keraton di Cirebon, bahkan juga di situs bersejarah lainnya di Cirebon. Bukan hanya dari hiasan porselin di dinding yang menandakan hubungan baik keraton dengan Tiongkok pada masa lalu yang tampil di Cirebon, tetapi terlihat juga pada berbagai pola desain dan penggunaan warna.

Cirebon tidak hanya memiliki dua buah keraton, tetapi keberadaan Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman adalah bukti keberadaan politik ‘devide et impera’ kaum kolonialis. Perpecahan yang dibuat oleh Belanda untuk melemahkan perlawanan masyarakat berakibat timbulnya dua keraton ini. Sesuai dengan namanya maka Keraton Kanoman adalah keraton yang lebih muda, yang muncul belakangan. Selain kedua keraton itu seharusnya masih ada Keraton Kacirebonan. Ketiganya memiliki ciri menghadap ke Utara, di sebelah kiri Kraton ada mesjid, dan di taman keraton ada patung macan perlambang Prabu Siliwangi, tokoh sentral dalam sejarah Cirebon. Keraton juga memiliki alun-alun yang berfungsi sebagai tempat berkumpulnya masyarakat sekaligus juga tempat menggelar pasar. Bahkan Keraton Kanoman tampaknya sekarang malahan terkurung di dalam pasar yang bermula dari alun-alun keraton itu.

Kehadiran Belanda tampaknya juga diabadikan dengan kehadiran keramik-keramik Belanda yang ditempel di dinding keraton. Dinding keraton bagaikan catatan sejarah dalam dimensi ruang.

Cirebon sendiri merupakan tempat yang menarik untuk mempelajari akulturasi budaya yang terjadi di kota pelabuhan yang cukup aktif ini. Motif megamendung yang merupakan motif khas batik Cirebon merupakan pengaruh Oriental seperti yang biasa tampak pada gambar awan di keramik-keramik asal Tiongkok. Warna-warna yang lebih cerah tidak hanya mewarnai batik mereka, tetapi juga mewarnai interior bangunannya, warna ini berbeda dari warna batik Jogja maupun Solo yang awalnya hanya memakai satu warna.

Keraton Kasepuhan adalah keraton yang paling terawat di antara keraton-keraton di Cirebon. Keraton awal adalah keraton Pakungwati yang berdiri di belakang keraton Kasepuhan, dibangun oleh Prabu Cakrabuana (tahun 1445). Keraton tersebut kemudian diperluas pada tahun 1529. Mesjid Agung yang berdiri di Timur keraton dibangun pada tahun 1549.

Yang menarik dari Keraton ini adalah kereta yang dikeramatkan yaitu Kereta Singa Barong. Sejak tahun 1942 kereta ini hanya dikeluarkan pada tanggal 1 Syawal untuk dimandikan. Kembarannya berada di Keraton Kanoman bernama Kereta Paksi Naga Liman. Kereta ini sangat menarik karena memperlihatkan hasil karya teknologi yang tinggi. Sistim suspensi hidrolik yang dibangun dengan kayu dan baja itu memungkinkan kenyamanan pemakaian si pengguna.  Belum lagi desain roda yang menghindarkan pengendara dari lumpur yang terlontar dari roda. Bahwa enam abad yang lalu sudah ada teknologi yang begitu maju, rasanya sangat menakjubkan. Apalagi menurut pengantar wisata, teknologi ini diakui secara internasional sebagai teknologi yang maju di zamannya. Rupanya keraton bukan hanya tempat belajar kebudayaan dan sejarah, tetapi bisa juga menjadi tempat belajar sejarah kemajuan iptek di masa lalu.  (28 Maret 2009)

Disusun dari berbagai sumber informasi

Sumber :

Retty N. Hakim

http://www.wikimu.com/news/DisplayNews.aspx?id=13615

5 Juni 2009

Sumber Gambar:

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/e/e6/Kereta_Kencana_Singabarong_1549_Keraton_Kasepuhan_Cirebon.jpg


SEJARAH CIREBON


KISAH asal-usul Cirebon dapat ditemukan dalam historiografi tradisional yang ditulis dalam bentuk manuskrip (naskah) yang ditulis pada abad ke-18 dan ke-19. Naskah-naskah tersebut dapat dijadikan pegangan sementara sehingga sumber primer ditemukan.

Diantara naskah-naskah yang memuat sejarah awal Cirebon adalah Carita Purwaka Caruban NagariBabad CirebonSajarah Kasultanan CirebonBabad Walangsungsang, dan lain-lain. Yang paling menarik adalah naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, ditulis pada tahun 1720 oleh Pangeran Aria Cirebon, Putera Sultan Kasepuhan yang pernah diangkat sebagai perantara para Bupati Priangan dengan VOC antara tahun 1706-1723. 

Dalam naskah itu pula disebutkan bahwa asal mula kata “Cirebon” adalah “sarumban”, lalu mengalami perubahan pengucapan menjadi “Caruban”. Kata ini mengalami proses perubahan lagi menjadi “Carbon”, berubah menjadi kata “Cerbon”, dan akhirnya menjadi kata “Cirebon”. Menurut sumber ini, para wali menyebut Carbon sebagai “Pusat Jagat”, negeri yang dianggap terletak ditengah-tengah Pulau Jawa. Masyarakat setempat menyebutnya “Negeri Gede”. Kata ini kemudian berubah pengucapannya menjadi “Garage” dan berproses lagi menjadi “Grage”.

Menurut P.S. Sulendraningrat, penanggung jawab sejarah Cirebon, munculnya istilah tersebut dikaitkan dengan pembuatan terasi yang dilakukan oleh Pangeran Cakrabumi alias Cakrabuana. Kata “Cirebon” berdasarkan kiratabasa dalam Bahasa Sunda berasal dari “Ci” artinya “air” dan “rebon” yaitu “udang kecil” sebagai bahan pembuat terasi. Perkiraan ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa dari dahulu hingga sekarang, Cirebon merupakan penghasil udang dan terasi yang berkualitas baik.

Berbagai sumber menyebutkan tentang asal-usul Sunan Gunung Jati, pendiri Kesultanan Cirebon. Dalam sumber lokal yang tergolong historiografi, disebutkan kisah tentang Ki Gedeng Sedhang Kasih, sebagai kepala Nagari Surantaka, bawahan Kerajaan Galuh. Ki Gedeng Sedhang Kasih, adik Raja Galuh, Prabu Anggalarang, memiliki puteri bernama Nyai Ambet Kasih. Puterinya ini dinikahkan dengan Raden Pamanah Rasa, putra Prabu Anggalarang.

Karena Raden Pamanah Rasa memenangkan sayembara lalu menikahi puteri Ki Gedeng Tapa yang bernama Nyai Subanglarang, dari Nagari Singapura, tetangga Nagari Surantaka. Dari perkawinan tersebut lahirlah tiga orang anak, yaitu Raden WalangsungsangNyai Lara Santang dan Raja Sangara. Setelah ibunya meninggal,Raden Walangsungsang serta Nyai Lara Santang meninggalkan Keraton, dan tinggal di rumah Pendeta Budha, Ki Gedeng Danuwarsih.

Puteri Ki Gedeng Danuwarsih yang bernama Nyai Indang Geulis dinikahi Raden Walangsungsang, serta berguru Agama Islam kepada Syekh Datuk KahfiRaden Walangsungsang diberi nama baru, yaitu Ki Samadullah, dan kelak sepulang dari tanah suci diganti nama menjadi Haji Abdullah Iman. Atas anjuran gurunya, Raden Walangsungsang membuka daerah baru yang diberi nama Tegal Alang-alang atau Kebon Pesisir. Daerah Tegal Alang-alang berkembang dan banyak didatangi orang Sunda, Jawa, Arab, dan Cina, sehingga disebutlah daerah ini “Caruban”, artinya campuran. Bukan hanya etnis yang bercampur, tapi agama juga bercampur.

Atas saran gurunya, Raden Walangsungsang pergi ke Tanah Suci bersama adiknya,Nyai Lara Santang. Di Tanah Suci inilah, adiknya dinikahi Maulana Sultan Muhammad bergelar Syarif Abdullah keturunan Bani Hasyim putera Nurul Alim. Nyai Lara Santang berganti nama menjadi Syarifah Mudaim.

Dari perkawinan ini, lahirlah Syarif Hidayatullah yang kelak menjadi Sunan Gunung Jati. Dilihat dari Genealogi, Syarif Hidayatullah yang nantinya menjadi salahseorang Wali Sanga, menduduki generasi ke-22 dari Nabi Muhammad.

Sesudah adiknya kawin, Ki Samadullah atau Abdullah Iman pulang ke Jawa. Setibanya di tanah air, mendirikan Masjid Jalagrahan, dan membuat rumah besar yang nantinya menjadi Keraton Pakungwati. Setelah Ki Danusela meninggal Ki Samadullah diangkat menjadu Kuwu Caruban dan digelari Pangeran Cakrabuana. Pakuwuan ini ditingkatkan menjadi Nagari Caruban larang. Pangeran Cakrabuanamendapat gelar dari ayahandanya, Prabu Siliwangi, sebagai Sri Mangana, dan dianggap sebagai cara untuk melegitimasi kekuasaan Pangeran Cakrabuana.

Setelah berguru di berbagai negara, kemudian berguru tiba di Jawa. Dengan persetujuan Sunan Ampel dan para wali lainnya disarankan untuk menyebarkan agama Islam di Tatar Sunda. Syarif Hidayatullah pergi ke Caruban Larang dan bergabung dengan uwaknya, Pangeran CakrabuanaSyarif Hidayatullah tiba di pelabuhan Muara Jati kemudian terus ke Desa Sembung-Pasambangan, dekat Amparan Jati, dan mengajar Agama Islam, menggatikan Syekh Datuk Kahfi.

Syekh Jati juga mengajar di dukuh Babadan. Di sana ia menemukan jodohnya dengan Nyai Babadan Puteri Ki Gedeng Babadan. Karena isterinya meninggal, Syekh Jati kemudian menikah lagi dengan Dewi Pakungwati, puteri Pangeran Cakrabuana, disamping menikahi Nyai Lara Bagdad, puteri sahabat Syekh Datuk Kahfi.

Syekh Jati kemudian pergi ke Banten untuk mengajarkan agama Islam di sana. Ternyata Bupati Kawunganten yang keturunan Pajajaran sangat tertarik, sehingga masuk Islam dan memberikan adiknya untuk diperistri. Dari perkawinan dengan Nyai Kawunganten, lahirlah Pangeran Saba Kingkin, kelak dikenal sebagai Maulana Hasanuddin pendiri Kerajaan Banten. Sementara itu Pangeran Cakrabuana memintaSyekh Jati menggantikan kedudukannya dan Syarif Hidayatullah pun kembali ke Caruban. Di Cirebon ia dinobatkan sebagai kepala Nagari dan digelari Susuhunan Jati atau Sunan Jati atau Sunan Caruban atau Cerbon. Sejak tahun 1479 itulah, Caruban Larang dari sebuah nagari mulai dikembangkan sebagai Pusat Kesultanan dan namanya diganti menjadi Cerbon.

Pada awal abad ke-16 Cirebon dikenal sebagai kota perdagangan terutama untuk komoditas beras dan hasil bumi yang diekspor ke Malaka. Seorang sejarawan Portugis, Joao de Barros dalam tulisannya yang berjudul Da Asia bercerita tentang hal tersebut. Sumber lainnya yang memberitakan Cirebon periode awal, adalahMedez Pinto yang pergi ke Banten untuk mengapalkan lada. Pada tahun 1596, rombongan pedagang Belanda dibawah pimpinan Cornellis de Houtman mendarat di Banten. Pada tahun yang sama orang Belanda pertama yang datang ke Cirebon melaporkan bahwa Cirebon pada waktu itu merupakan kota dagang yang relatif kuat yang sekelilingnya dibenteng dengan sebuah aliran sungai.

Sejak awal berdirinya, batas-batas wilayah Kesultanan Cirebon termasuk bermasalah. Hal ini disebabkan, pelabuhan Kerajaan Sunda, yaitu Sundakalapa berhasil ditaklukan. Ketika Banten muncul sebagai Kesultanan yang berdaulat ditangan putra Susuhunan Jati, yaitu Maulana Hasanuddin, masalahnya timbul, apakah Sunda Kalapa termasuk kekuasaan Cirebon atau Banten?

Bagi Kesultanan Banten, batas wilayah ini dibuat mudah saja, dan tidak pernah menimbulkan konflik. Hanya saja pada tahun 1679 dan 1681, Cirebon pernah mengklaim daerah Sumedang, Indramayu, Galuh, dan Sukapura yang saat itu dipengaruhi Banten, sebagai wilayah pengaruhnya.

Pada masa Panembahan Ratu, perhatian lebih diarahkan kepada penguatan kehidupan keagamaan. Kedudukannya sebagai ulama, merupakan salah satu alasan Sultan Mataram agak segan untuk memasukkan Cirebon sebagai daerah taklukan. Wilayah Kesultanan Cirebon saat itu meliputi Indramayu, Majalengka, Kuningan, Kabupaten dan Kotamadya Cirebon sekarang. Ketika Panembahan Ratuwafat, tahun 1649 ia digantikan oleh cucunya Panembahan Girilaya atauPanembahan Ratu II. Dari perkawinannya dengan puteri Sunan Tegalwangi,Panembahan Girilaya memiliki 3 anak, yaitu Pangeran MartawijayaPangeran Kertawijaya, dan Pangeran Wangsakerta. Sejak tahun 1678, di bawah perlindungan Banten, Kesultanan Cirebon terbagi tiga, yaitu pertama Kesultanan Kasepuhan, dirajai Pangeran Martawijaya, atau dikenal dengan Sultan Sepuh I. Kedua Kesultanan Kanoman, yang dikepalai oleh Pangeran Kertawijaya dikenal denganSultan Anom I dan ketiga Panembahan yang dikepalai Pangeran Wangsakerta atauPanembahan Cirebon I.

Kota Cirebon tumbuh perlahan-lahan. Pada tahun 1800 Residen Waterloo mencoba membuat pipa saluran air yang mengalir dari Linggajati, tetapi akhirnya terbengkalai. Pada tahun 1858, di Cirebon terdapat 5 buah toko eceran dua perusahaan dagang. Pada tahun 1865, tercatat ekspor gula sejumlah 200.000 pikulan (kuintal), dan pada tahun 1868 3 perusahaan Batavia yang bergerak di bidang perdagangan gula membuka cabangnya di Cirebon. Pada tahun 1877, di sana sudah berdiri pabrik es, dan pipa air minum yang menghubungkan sumur-sumur artesis dengan perumahan dibangun pada tahun 1877. Pada awal abad ke-20, Cirebon merupakan salahsatu dari lima kota pelabuhan terbesar di Hindia Belanda, dengan jumlah penduduk 23.500 orang. Produk utamanya adalah beras, ikan, tembakau dan gula.***(Nina H. Lubis (ed.), Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, 2000.) (by Ki Santri, 3 April 2008)

Sumber :

http://sundaislam.wordpress.com/2008/04/03/sejarah-cirebon/

5 Juni 2009

Sumber Gambar:

http://www.potlot-adventure.com/wp-content/uploads/2009/03/keraton-kanoman-cirebon-300x298.jpg


JAJAN MALAM HARI DI CIREBON

Kota Cirebon segera mengembangkan Pusat jajan wayah bengi (Pujawangi) merupakan salah satu khas wisata kuliner Cirebon yang akan melayani wisatawan nusantara dan mancanegara.
     
"Pujawangi atau lebih dikenal ’pusat jajan malam hari’ sengaja dikembangkan disamping menyediakan berbagai masakan tradisional, nusantara dan mancanegara juga meratakan titik keramaian di kota Cirebon," kata Kadinas Pariwisata Kota Cirebon Dr.Wahyo didampingi Kabid Pariwisata Maman Sulaeman di Cirebon, Selasa (22/4).
     
Dikatakannya, sebelumnya Pujawangi sudah ada, namun tempatnya kurang strategis dan belum dikelola secara baik. Dalam waktu dekat Pujawangi akan mengambil ruas jalan Karanggetas kota Cirebon, dimana jalan itu agak luas dengan prasarana jalan dan lampu cukup baik.
     
Diharapkan Pujawangi bisa menghidupkan kawasan tersebut dan berbagai fasilitas untuk jualan akan disediakan. Jalan itu akan ditutup untuk kendaraan umum pada pukul 17.00 sampai 02.00 WIB.
     
Hal ini dimaksudkan agar wisatawan yang datang ke kota Cirebon bisa menikmati makan malam di kawasan itu. "Untuk itu masyarakat diminta mengisi berbagai masakan mulai dari makanan lokal, nusantara sampai internasional," katanya.
     
Tujuan lainnya, pendirian Pujawangi tersebut guna memecah titik keramaian kota yang berpenduduk sekitar 300 ribu jiwa itu. "Dengan adanya ruas jalan khusus dibuat tempat berbagai macam makanan, diharapkan suasana kota semakin semarak pada malam hari," katanya. MBK (22 April 2009)


Sumber :
Sumber : Antara dalam :
5 Juni 2009

PARIWISATA CIREBON

Sebagai tujuan wisata di Jawa Barat, Cirebon memang tidak sepopuler Bandung. Padahal kota Cirebon menyimpan banyak pesona mulai dari wisata sejarah kejayaan kerajaan Islam, wisata kuliner, sampai wisata batik dan sentra rotan.

Cirebon mempunyai 4 keraton sekaligus di dalam kota, yakni Keraton KasepuhanKeraton KanomanKeraton Kacirebonan dan Keraton Keprabon. Semuanya memiliki arsitektur gabunan dari elemen kebudayaan Islam, CIna, dan Belanda.

Bangunan keraton selalu menghadap ke utara dan ada sebuah masjid didekatnya. Setiap keraton mempunyai alun-alun sebagai tempat berkumpul, pasar dan patung macan di taman atau halaman depan sebagai perlambang dari Prabu Siliwangi, tokoh sentral terbentuknyakerajaan Cirebon.

Ciri lain adalah piring porselen asli Tiongkok yang jadi penghias dinding. Beberapa piring konon diperoleh dari Eropa saat Cirebon jadipelabuhan pusat perdagangan Pulau Jawa.

Selain itu kota ini terkenal juga dengan sebuah taman yang dikenal dengan nama Taman Air Sunyaragi. Taman indah ini dilengkapi dengan teknologi pengaliran air yang sangat canggih pada masanya. Pada masa lalu, air-air mengalir diantara teras-teras tempat para putri raja bersolek, halaman rumput hijau tempat para ksatria berlatih, ditambah menara dan kamar istimewa yang pintunya terbuat daritirai air.

Selain itu ada juga tempat-tempat peninggalan bersejarah yang lain seperti Masjid Agung Sang Cipta Rasakelenteng kuno, Makam Sunan Gunung Jati dan rumah perlindungan Linggarjati.


Daftar daerah tujuan wisata


Sumber :
5 Juni 2009

KOTA CIREBON DAN SEJARAHNYA

Kota Cirebon adalah sebuah kota di Provinsi Jawa BaratIndonesia. Kota ini berada di pesisir Laut Jawa, di jalur pantura. Dahulu Cirebon merupakan ibu kota Kesultanan Cirebon dan Kabupaten Cirebon, namun ibu kota Kabupaten Cirebon kini telah dipindahkan ke Sumber. Cirebon menjadi pusat regional di wilayah pesisir timur Jawa Barat.

Cirebon juga disebut dengan nama 'Kota Udang'. Sebagai daerah pertemuan budaya Jawa dan Sunda sejak beberapa abad silam, masyarakat Cirebon biasa menggunakan dua bahasa, bahasa Sunda dan Jawa.


Menurut Manuskrip Purwaka Caruban Nagari, pada abad XIV di pantai Laut Jawa ada sebuah desa nelayan kecil bernama Muara Jati. Pada waktu itu sudah banyak kapal asing yang datang untuk berniaga dengan penduduk setempat. Pengurus pelabuhan adalah Ki Gedeng Alang-Alang yang ditunjuk oleh penguasa Kerajaan Galuh (Padjadjaran). Dan di pelabuhan ini juga terlihat aktivitas Islam semakin berkembang. Ki Gedeng Alang-Alang memindahkan tempat pemukiman ke tempat pemukiman baru di Lemahwungkuk, 5 km arah selatan mendekati kaki bukit menuju kerajaan Galuh. Sebagai kepala pemukiman baru diangkatlah Ki Gedeng Alang-Alang dengan gelar Kuwu Cerbon.

Pada Perkembangan selanjutnya, Pangeran Walangsungsang, putra Prabu Siliwangi ditunjuk sebagai Adipati Cirebon dengan Gelar Cakrabumi. Pangeran inilah yang mendirikan Kerajaan Cirebon, diawali dengan tidak mengirimkan upeti kepada Raja Galuh. Oleh Raja Galuh dijawab dengan mengirimkan bala tentara ke Cirebon Untuk menundukkan Adipati Cirebon, namun ternyata Adipati Cirebon terlalu kuat bagi Raja Galuh sehingga ia keluar sebagai pemenang.

Dengan demikian berdirilah kerajaan baru di Cirebon dengan Raja bergelar Cakrabuana. Berdirinya kerajaan Cirebon menandai diawalinya Kerajaan Islam Cirebon dengan pelabuhan Muara Jati yang aktivitasnya berkembang sampai kawasan Asia Tenggara.


Periode 1270-1910

Pada abad ke-13 Kota Cirebon ditandai dengan kehidupan yang masih tradisional dan pada tahun 1479 berkembang pesat menjadi pusat penyebaran dan Kerajaan Islam terutama di wilayah Jawa Barat. Kemudian setelah penjajah Belanda masuk, dibangunlah jaringan jalan raya darat dan kereta api sehingga mempengaruhi perkembangan industri dan perdagangan.


Periode 1910-1937

Pada periode ini Kota Cirebon disahkan menjadi Gemeente Cheribon dengan luas 1.100 Hektar dan berpenduduk 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370).


Periode 1937-1967

Pada 1942 Kota Cirebon diperluas menjadi 2.450 hektar dan tahun 1957 status pemerintahannya menjadi Kota Praja dengan luas 3.300 hektar, setelah ditetapkan menjadi Kotamadya tahun 1965 luas wilayahnya menjadi 3.600 hektar.


Sumber :

http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Cirebon

5 Juni 2009